PWM dan PRM bangun Ekonomi Produktif: Peletakan Batu Pertama Gedung Sarang Walet, Koja, Kinali Pasaman Barat

Menggesa Ekonomi Produktif, PWM Bangun Gedung Sarang Walet di Kinali

December 13, 2021

Kinali,  Pasaman Barat, (12/12.2021).

Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah (PWM) Sumatera Barat membangun dengan swadaya bersama gedung sarang burung walet di Kinali, Pasaman Barat.  Peletakan batu pertama  pembangunan Wakaf Produktif itu merupakan kerjasama PWM dengan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Koto Gadang Raya (Koja) terletak di  Cabang Muhammadiiyah Kinali, Ahad, 12/12./2021.

Anggaran Pembangunan gedung berlantai dua dengan ukuran  8 kali 12 meter itu diperkirakan menghabiskan dana sebesar 500 juta rupiah.  Sejak sekarang sudah dimulai dikumpulkan wakaf produktif dari kaum muslimin dan muslimat, para  kader, tokoh dan warga Muhammadiyah dari beragai tingkatan di Sumatera Barat. 

Hasil rumah walet ini nanti digunakan untuk kepentingan umat, dakwah Islam dan gerakan persyarikatan dan organisiasi.

Pembangunan dilaksanakan secara swadaya masyarakat bergotongroyong. Alat pembangunan , stager, dan molen milik Cabang Muhammadiyah Kinali. 

PCM Kinali adalah juara tiga besar nasional 2 tahun lalu dalam festival, ekhibisi, penerima award PCM seluruh Indonesia di Sulawesi Selatan. 

Sekarang PCM Kinali memiliki berbagai usaha ekonomi produktif seperti sarang burung walet, koperasi dan mini-market. 

PCM Kinali sudah mampu dengan berswadaya dalam pembagunan amal usaha terutama pendidikan dan AUM lainnya.

Hadir dari PWM Wakil Ketua yang juga manajer,  project officer pembangunan ini, H. Solsafad, AMd., S.Pd.I., MA., Sekretaris Drs H. Numan Agus dan Bendahara Drs. H. Abdul Rahman Chan. Begitu pula dari PDM Pasaman Barat, hadir Ketua Ronaldi, S.Pd., M.A dan Ketua PCM Kinali, Drs. H. Kusnan bersama tokoh masyarakat dan Muhammadiyah setempat.

Setelah peletakan batu pertama gedung-rumah walet ini dilaksanakan pengajian Milad ke-109 Muhamadiiyah sekaligus pengajian bulanan tingkat PDM di PCM Kinali

Bertindak sebagai nara sumber adalah ke-tiga PWM di atas bersama Ketua PDM Pasaman Barat  dan PCM Kinali. (Teks/Foto:  Admin, Sol,  HNA).

Muktamar Muhammadiyah, Baru Lima Persen Formulir Calon Pimpinan Dikembalikan

Muktamar Muhammadiyah, Baru Lima Persen Formulir Calon Pimpinan Dikembalikan

Shofwan Karim. (*)

PADANG – Muktamar Muhammadiyah ke-48 tahun 2020 di Solo semakin dekat. Kendati demikian, belum banyak calon pimpinan yang mengembalikan formulir pernyataan kesediaan untuk dicalonkan.

Demikian informasi yang disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat Dr. H. Shofwan Karim Elhussaini, Senin (18/11). Shofwan bersama delegasi yang dipimpinnya, saat berada di ajang Konsolidasi Nasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diikuti 500-an peserta se-Indonesia, di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta.

“Laporan panitia pemilihan muktamar yang diketuai HA. Dahlan Rais diperoleh informasi, dari 200-an surat permintaan kesediaan menjadi calon pimpinan, baru sekitar lima persen yang mengembalikannya. Padahal, para calon itu akan ditetapkan melalui tanwir pra muktamar yang waktunya semakin dekat,” ujar Shofwan.

Dikatakan, untuk memperlancar mekanisme penetapan calon Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akan dipilih di arena muktamar, panitia pemilihan menetapkan paling lambat pada Januari 2020.

Shofwan menjelaskan, ada banyak agenda strategis yang menjadi sorotan para peserta rapat konsolidasi itu, mulai dari persoalan dakwah dan pendidikan, sampai pada aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang selama ini sudah digarap serius oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

“Semua bidang garap amal usaha itu harus tetap ditingkatkan, disempurnakan, direview, dan diperbaharui sesuai kaidah kemajuan dan kemoderenan, sesuai pula dengan perkembangan dinamika internal dan eksternal Muhammadiyah,” katanya.

Terkait dengan berbagai isu strategis, misalnya tentang jumlah kader Muhammadiyah yang dipercaya jadi menteri, dan persoalan hijab dalam bentuk cadar dan celana cingkrang yang akhir-akhir ini jadi perbincangan, menurut Shofwan, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah H. Haedar Nashir mengajak semua elemen untuk menyikapinya dengan arif.

“Merujuk pada putusan majlis tarjih, muka dan telapak tangan bukanlah aurat. Bila ada yang melebihi itu, haruslah dipersuasi dan diedukasi. Bukan dilawan. Mudah-mudahan pada waktunya nanti bisa menyesuaikan. Penguatan pemahaman agama dan pengamalannya harus tetap diperkuat,” tegasnya.

Intinya, tegas Shofwan, Muhammadiyah dengan segenap elemennya sejak dari ranting hingga ke tingkat pusat, dituntut untuk terus meningkatkan komunikasi, relasi, interaksi positif dan produktif, baik secara internal maupun eksternal.(mus)

https://www.topsatu.com/muktamar-muhammadiyah-baru-lima-persen-formulir-calon-pimpinan-dikembalikan/

Dunia Arab Muak Dengan Radikalisme Dan Partai Agama

https://www.bentengsumbar.com/2021/12/dunia-arab-muak-dengan-radikalisme-dan.html

Dunia Arab Muak Dengan Radikalisme Dan Partai Agama

BENTENGSUMBAR.COM – Pamor partai agama dan kelompok militan ekstremis -seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbullah, Hamas, Al-Qaeda, Daesh dan Taliban- ternyata ,sudah merosot tajam di dunia Arab.

Inilah fenomena yang menarik yang mengemuka di Timur Tengah, dari hasil studi paling baru berjudul Mosque and State: How Arabs See the Future (Masjid dan Negara: Bagaimana Orang Arab Melihat Masa Depan).

“Penelitian ini menyimpulkan, kebanyakan orang Timur Tengah menentang penggunaan agama untuk keuntungan politik. Mereka sudah muak dengan ekstremisme,” tegas profesor ilmu politik, Dr Abdulkhaleq Abdulla di Dubai, Ibukota Uni Emirat Arab, Kamis, 9 Desember 2021.

“Masalahnya, kelompok-kelompok politik berdasarkan agama selama ini tidak membawa mereka ke mana-mana,” lanjutnya kepada Arab News, sebagaimana dilansir Suara Pemred.

Dari hasil penelitian paling baru ini maka diketahui bahwa daya tarik partai agama (Islam) dan kelompok ekstremis di mata orang Arab kemungkinan akan memudar selama 10 tahun ke depan.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar orang Arab justru memandang korupsi sebagai masalah utama di negara asal mereka dan juga menjadi penyebab utama konflik di dunia Arab.

Para peneliti juga menemukan persetujuan yang luar biasa terkait perkembangan pemberdayaan perempuan, seperti dalam hal mengemudi mobil.

Kebanyakan orang Arab juga mengharapkan kemajuan lebih lanjut di negara mereka sendiri dalam 10 tahun ke depan.

Temuan dari survei tentang Islam politik adalah ‘kabar baik’ bagi wilayah tersebut.

Wajah Buruk ISIS dan Terorisme

“Memang, kami telah melihat wajah buruknya selama empat hingga lima tahun penguasaan Daesh (kelompok teroris ISIS yang ingin mendirikan negara khilafa) atas wilayah yang luas di Suriah dan Irak. Sehingga wajar jika ada penurunan popularitas mereka,” lanjut Abdulla.

Namun yang jauh lebih penting, lanjutnya, adalah prediksi bahwa dukungan terhadap partai-partai agama, baik moderat maupun ekstremis, sedang menurun tajam.

Senada itu, Dr Theodore Karasik, penasihat senior untuk Gulf State Analytics (Analisa-analisa Negara Teluk) di Washington, AS, menilai bahwa jajak pendapat menunjukkan penolakan yang jelas oleh orang-orang Arab terhadap model politik seperti itu.

Dalam artikelnya di Arab News, Rabu, 8 Desember 2021, Karasik menyatakan bahwa dunia Arab akhirnya sadar bahwa selama ini telah terjadi semacam penyalahgunaan, dan penggunaan emosi orang-orang secara berlebihan.

“Disadari bahwa semuanya ini dilakukan untuk keuntungan politik oleh gerakan-gerakan agama yang itu. Tapi yang terpenting, Ikhwanul Muslimin sedang melalui momen terburuknya,” tegasnya.

Survei tersebut dilakukan oleh YouGov dan Arab News dalam kemitraan dengan Forum Strategi Arab, yang berlangsung pada Rabu lalu di Dubai.

Acara tahunan ke-12 ini mengeksplorasi peristiwa dan tren yang diharapkan selama 10 tahun ke depan, dengan 18 pembicara utama, termasuk mantan menteri, pejabat pemerintah, pakar industri, ahli strategi internasional, penulis, dan kalangan profesional media.

Hasil studi ini menggambarkan bagaimana berubahnya persepsi tentang masalah ini, yang juga diterjemahkan menjadi penolakan terhadap narasi Iran tentang Levant.

Dilansir dari Wikipedia, Levant berasal dari bahasa Prancis: Levant (pengucapan dalam bahasa Prancis) atau Syam (serapan dari bahasa Arab), yang artinya wilayah Timur, atau wilayah besar di Asia Barat, yang dibatasi oleh Pegunungan Taurus di utara, Gurun Arab di selatan, Laut Mediterania di barat, dan Pegunungan Zagros di timur.

Levant meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Yordania, Israel, dan Palestina. Kadang-kadang, Siprus, Sinai, dan Irak juga dianggap sebagai bagian dari Levant.

Universitas Kolese di London, Inggris, mendeskripsikan Levant sebagai ‘persimpangan Asia Barat, Mediterania Timur, dan Afrika timur laut’.

Adapun mengenai penggunaan agama sebagai masalah politik, 44 persen warga di seluruh dunia Arab sangat tidak setuju atau agak tidak setuju dengan pernyataan bahwa ‘agama saya adalah masalah politik’.

Untuk Lebanon yang dilanda protes, angkanya bahkan lebih tinggi: 49 persen.

Hanya sembilan persen yang sangat setuju dengan penggunaan agama sebagai isu politik, sementara 13 persen agak setuju dengan gagasan tersebut.

Melihat ke 10 tahun ke depan di negara asal mereka, rata-rata gabungan dari 47 persen responden mengharapkan untuk melihat lebih banyak atau sedikit lebih banyak Islam moderat, dan 22 persen mengantisipasi akan ada lebih banyak, atau sedikit lebih, partai politik yang dimotivasi oleh ekstremisme.

Penurunan Pengaruh Iran

Temuan ini dimasukkan ke dalam konteks apa yang telah terjadi di Irak dan Lebanon, dan bahkan mungkin menjelaskan bagian dari narasi Iran.

Ini juga menggambarkan banyak tren yang diklihat di negara-negara Levant saat ini, ketika protes berkecamuk melawan tatanan lama dan sistem korupsi yang diberi makan oleh program penjangkauan Iran.

Namun, kekuatan lunak Iran melemah, dilihat dari hasil penelitian YouGov, yang memprediksi bahwa tidak hanya seberapa jauh Iran dapat mendorong agendanya, tetapi juga kemundurannya.

Yang pasti, dunia Arab tetap religius, dengan 66 persen responden menggambarkan diri mereka sebagai penganut suatu agama, dan mengamalkannya, empat persen menyatakan menganut suatu agama, tetapi tidak mengamalkannya, dan 17 persen lainnya mengaku menjalankan keyakinan mereka, tetapi tidak. secara teratur.

Menurut Karasik, temuan ini menunjukkan bahwa agama tetap menjadi atribut budaya pusat.

Secara keseluruhan, rata-rata gabungan 57 persen respodnen menganggap dunia Arab sangat religius, atau agak religius. Hanya 25 persen yang menganggapnya tidak begitu religius.

Ketika memikirkan negara asal mereka, 72 persen orang yang ditanyai menggambarkannya sebagai sangat religius, atau agak religius, dengan 16 persen berpikir bahwa itu tidak terlalu religius, sekuler, atau tidak religius sama sekali.

Studi ini mengidentifikasi bahwa masih ada persyaratan agama untuk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagai bentuk bimbingan, melainkan juga untuk mempertahankan jenis keadaban.

Enam puluh persen orang Arab menilai bahwa keputusan masyarakat yang dibuat oleh pemerintah asal mereka, dipengaruhi oleh agama.

Sementara 62 persen orang Arab lainnya setuju dengan pernyataan, “kita membutuhkan hukum agama untuk mempertahankan standar moral di negara kita.”

Meski demikian, angka-angka tersebut dengan jelas menunjukkan tentang betapa merosotnya dukungan publik terhadap partai politik dengan agenda keagamaan. Misalnya, 58 persen orang Arab tidak setuju dengan pernyataan, “Saya mendukung penggunaan agama untuk keuntungan politik.”

Enam puluh persen percaya bahwa pandangan ekstremis tidak memiliki tempat dalam Islam.

Isu kualitas hidup adalah pendorong utama yang hanya terhambat oleh sistem pengakuan dosa, yang didukung oleh Iran yang kini berantakan.

Temuan jajak pendapat memperjelas bahwa di mana agama dan politik dipisahkan, dan negara-negara menjadi stabil, maka manfaat yang dibawa oleh agama menyebabkan kebanyakan orang menolak sekularisasi, karena diduga memiliki potensi dampak negatif pada masyarakat mereka selama dekade mendatang.

Ada juga sedikit keinginan di antara responden untuk lebih banyak sekularisasi di dunia Arab, dengan hanya 17 persen yang berpikir bahwa hal itu bisa positif, dan sisanya netral, tidak yakin, atau tidak mau mengatakan.

Namun, di bagian dunia Arab yang pernah mengalami konflik, dan di mana partai-partai agama aktif, dukungan untuk sekularisasi meningkat.

Di Lebanon, Suriah dan Irak, angkanya melonjak hingga lebih dari 40 persen. Temuan ini mungkin dapat dimengerti mengingat gejolak saat ini di seluruh Levant.

Ketika menyangkut masalah korupsi, statistik menunjukkan bahwa rata-rata gabungan 57 persen menganggapnya sebagai salah satu penyebab utama konflik di dunia Arab.

Menariknya, gabungan 61 persen orang Arab percaya masa depan akan lebih baik jika masalah ekonomi diletakkan di atas segalanya.

Kekuatan lunak Iran di Levant membantu memberi makan penyakit ekonomi dan menyuburkan korupsi lebih lanjut dalam sistem pengakuan ini.

77 Persen Menentang Kawin Paksa

Isu kawin paksa juga relevan. Sebanyak 77 persen orang Arab menentang kebijakan kawin paksa.

Ekspektasi terhadap hak-hak perempuan terbukti semakin luas, dengan 59 persen merasa positif tentang perempuan yang memegang peran menteri dalam pemerintahan, dan 66 persen orang Arab mendukung mengizinkan perempuan mengemudi di Arab Saudi.

Dukungan tingkat tinggi sangat mencolok dan menunjukkan bahwa masalah kesetaraan tetap konstan. Khususnya, 52 persen orang Arab setuju bahwa wanita memiliki hak untuk memilih pakaian apa yang akan dikenakan.

Kemajuan dalam hak-hak perempuan ini melampaui model pengakuan dan restriktif berdasarkan hukum yurisprudensi Iran, atau vilayat al-faqih.

Akhirnya, gabungan rata-rata 51 persen orang Arab setuju dengan memiliki tempat ibadah umum untuk agama lain, sementara tujuh persen yang mengejutkan menilai bahwa ekstremisme menjadi perhatian utama di negara asal mereka.

Jangkauan Iran ke dalam wacana politik beracun dan jajak pendapat menggambarkan bahwa toksisitas ini diakui dan didorong kembali oleh warga.

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa responden siap untuk menyerahkan sistem pengakuan dosa ke tumpukan abu sejarah sambil tetap saleh.Iran tidak cocok dengan ruang dunia Arab yang sedang berkembang ini. (Suarapemredkalbar)

MajDidasmen PPM dan PWM-PWA Sumbar

Silaturrahim, Jum’at 06 Jumadil Awal 1443 H/10 Desember 2021 M bersama Dr. H. Kasiyarno, M. Hum (Wakil Ketua Dikdasmen PP.

Muhammadiyah/Mantan Rektor UAD (12 tahun) dan Mas Abdullah Mukti)
Bertempat di GDM, Jl. Sawahan No. 62 Padang
Mulai 14.00 – 17.15 WIB.

Milad 109 Muhammadiyah Peringatan PDM Pessel: Optimis Menghadapi COVID, Menebar Nilai Utama

PDM Pessel, PDM (5/12/2021.

Peringatan Milad ke-109 Muhammadiyah diperingati dg acara puncak oleh PDM Pessel bersama Ortom, Lembaga dan Badan Jajaran Muhammadiyah Cabang, Ranting bersama Bupati dan Wakil Bupati Pessel.

Memberikan Sambutan PWM Drs H Nurman Agus menguraikan optimalisasi dan optimisasi Muhammadiyah Menghadapi Covid-19 yg masih belum selesai. Menguraikan 10 Karakter dan nilai utama Muhammdiyah yg terus disebarkann kepada ummat dan bangsa secara massif dg berbabagai giat, inisiatif, keras Uli serta innovasi melalui Majelis, Lembaga, dan AUM di berbagai tingkatan dan Jajaran.

Bupati Pessel, Rusma Yul Anwar menus must dg sukacita semua kiprah Muhammadiyah di daerahnya. Pada waktu itu diserahkan surat wakaf lahan tanah 13 hektar oleh sebuah Yayasan yg dipimpin oleh Drs H Alkandris, seorang pengusaha dan tokoh masyarakat kepada Muhammadiyah utk AUM Pendidikan. Tanah lahan itu terletak di kawasan strategis di Kab Pessel.

Turut memberikan taushiyah-pengajian Dekan FS UIN IB Padang Dr H Ikhwan Matondang, S.H., M.H.

Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan Transformasional: Definisi, Kualitas, dan Dampaknya Terhadap HR

digital-transformation-leadership-1-1024x569

Lanskap bisnis dan industri berubah dengan cepat, sehingga perusahaan pun dipaksa untuk turut melakukan perubahan dan beradaptasi. Tetapi praktik-praktik perusahaan, cara kerja, dan pola pikir para pegawai sulit untuk diubah. Disini lah fungsi kepemimpinan transformasional.

Apa itu kepemimpinan transformasional?

Istilah “kepemimpinan transformasional” bukanlah sebuah hal baru; istilah ini diciptakan oleh James MacGregor Burns pada tahun 1978, namun baru dikenal luas dalam beberapa tahun terakhir. Kepemimpinan transformasional atau transformational leadership adalah sebuah gaya kepemimpinan yang mengidentifikasi perubahan yang diperlukan, menyusun visi yang akan membuka jalan bagi perubahan yang dibuat dan melaksanakan rencana yang diperlukan agar perubahan tersebut terjadi. Sangat mudah untuk melihat mengapa gaya kepemimpinan ini penting dalam dunia yang senantiasa berubah saat ini.

Karakter para pemimpin transformasional

  1. Visioner

Pemimpin transformasional haruslah visioner, agar dapat memprediksi kondisi yang ideal bagi perusahaan mereka sebelum merencanakan perubahan untuk mencapai visi tersebut. Untuk mengembangkan suatu visi bagi perusahaan mereka, para pemimpin transformasional harus memiliki pola pikir optimis tentang perkembangan industri, dan terus-menerus menganalisis bagaimana perkembangan tersebut dapat berdampak pada industri dan perusahaan mereka

2. Menginspirasi

Perubahan dalam perusahaan tidak dapat diterapkan secara paksa, karena metode ini membutuhkan adanya pengawasan konstan, yang berarti terbuangnya sumber daya dengan sia-sia. Perubahan harus dilakukan dengan disertai perubahan pemikiran, pola pikir, dan perilaku secara bertahap. Inilah alasan mengapa pemimpin transformasional harus dapat menjadi inspirasi; memberikan teladan yang etis, empatis, tulus, optimis, serta berwibawa. Dengan menunjukkan atribut positif tersebut, akan secara otomatis menginspirasi para pegawai yang berada di sekitarnya dan memudahkan terlaksananya perubahan yang diperlukan

3. Kemampuan beradaptasi

Tujuan para pemimpin transformasional adalah untuk menciptakan perubahan yang positif. Oleh sebab itu, mereka harus dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja yang dinamis. Mereka mencari cara untuk meminimalisir risiko yang dihasilkan dari berbagai implementasi dan perubahan baru, menjawab tantangan dari dinamika pasar yang baru, serta mencoba-coba berbagai metode untuk melakukan tugas-tugas tertentu demi kemajuan perusahaan.

loa-bottombanner-728x90ev-article-and-edm-banner
  1. 4. Berpikiran terbuka

Untuk dapat menerapkan perubahan, harus ada penerimaan nilai-nilai dan prosedur baru terlebih dahulu. Para pimpinan dituntut untuk memiliki pemikiran terbuka terkait metode baru yang diusulkan. Para pimpinan harus berusaha untuk tidak bersikap konservatif atau skeptis; menunjukkan kemauan untuk mencoba merupakan suatu sinyal bagi para pegawai untuk berpiki;4ran terbuka pula, sebuah kekuatan ‘halus’ yang mendorong adanya inovasi dan perubahan dalam perusahaan.

5. Progresif

Sesuatu yang transformasional melibatkan adanya perubahan dan peningkatan, atau pada dasarnya mengalami kemajuan. Oleh sebab itu, pemimpin yang memiliki tujuan transformasional haruslah bersifat progresif; bersedia menerima gagasan dan praktik terbaik industri yang akan meningkatkan standar perusahaan dalam berbagai aspek. Mereka tidak takut untuk menjajaki area-area baru, selama dinilai akan menguntungkan di masa depan.

HR dan kepemimpinan transformasional: agen perubahan

HR selalu berada di lini depan, baik sebagai agen perubahan maupun pemeliharaan. Kepemimpinan transformasional berkaitan erat dengan perubahan dan peningkatan, sehingga gaya kepemimpinan ini berdampak langsung pada HR dalam beberapa aspek.

Pertama-tama, HR dituntut untuk memegang peranan yang lebih aktif dalam gaya kepemimpinan ini. HR harus ikut merencanakan, menerapkan dan mengumumkan perubahan yang diperlukan sesuai visi sang pimpinan. Ini membutuhkan penyusunan strategi yang matang bersama para stakeholder untuk membuat perencanaan yang tepat dan sesuai dengan budaya perusahaan.

Pemantauan dan pengumpulan data terkait progres perubahan yang diperlukan merupakan tanggung jawab HR. Untuk melakukannya, HR harus mengembangkan metode pengukuran (metrics) untuk menilai apakah perusahaan bergerak ke arah perubahan yang diperlukan, dan rencana darurat untuk melakukan intervensi apabila perusahaan justru bergerak menyimpang dari rencana yang dimaksud. Kemudian dilakukan pelaporan kepada para stakeholder atau pemangku kepentingan mengenai progres perubahan yang direncanakan.

HR, bersama dengan para pimpinan / manajer lainnya, diharapkan menjadi perwujudan atas perubahan yang diusulkan. HR harus bersedia menerima kritik dari perubahan yang diusulkan, memahami sepenuhnya manfaat dari perubahan tersebut agar mampu menyampaikan pesan dengan jelas kepada perusahaan, dan bersikap optimis sehingga memancarkan ‘aura’ positif yang akan menginspirasi para pegawai untuk turut mengadopsi perubahan yang diusulkan.

Tanggung jawab yang dibebankan kepada HR mungkin terdengar sangat besar, tetapi apabila tidak terdapat kepemimpinan transformasional, perusahaan menanggung risiko untuk ‘ketinggalan jaman’ karena lingkungan usaha dan lanskap industri yang senantiasa berubah. Ingat, perubahan adalah satu-satunya yang pasti (change is the only constant).

loa-bottombanner-728x90ev-article-and-edm-banner

https://www.jobstreet.co.id/id/cms/employer/kepemimpinan-transformasional-definisi-kualitas-dan-dampaknya-terhadap-hr/

Para “Mualaf” dan Krisis “Ontologi” Nahdatul Ulama Sumbar?

Para “Mualaf” dan Krisis “Ontologi” Nahdatul Ulama Sumbar?

Muhammad Taufik

NU hibrid (Mutan)

NU sepertinya kehilangan aspek keontologisannya. Yang hadir dan eksis hari ini banyak pada wujud hibrid atau mutan. Persoalan ini tidak hanya problem NU di Sumbar tapi NU secara keseluruah, khusunya NU di luar Jawa. Mutan, meimami Yasraf (2004), merupakan sebuah entitas yang mampu merubah totalitas dirinya lewat perubahan genus. Mutan berdasarkan terminilogi biologi adalah species yang terbentuk dari variasi diskontiniu gen-gen yang membentuk makhluk hidup, yang dapat menghasilkan individu makhluk baru secara biologis, yang menyimpang dari normal. Pada tingkat semiotik tanda-tanda yang diorganisir dalam bentuk kode ganda (double coding) atau bahkan kode jamak (multiple coding).

Melalui kode tersebut, tanda-tanda dikombinasikan lewat kode-kode tertentu, sehingga berbagai unsur (tanda) yang saling bertentangan kini disatukan dalam sebuah rekombinasi yang dapat menghasilkan kategori baru, yang menyimpang dari sistem pertandaan normal. Masuknya varian ini satu sisi dipandang baik bagi perkembangan kelembagaan namun di sisi lain, NU kehilangan keautentikannya. Ia menjadi ringkih dan rapuh dan reduktif dalam semesta keoriganilitasan NU.

Mutan selalu menghasilkan kategori-kategori (wujud, tubuh atau tanda) yang menyimpang (deviant) atau abnormal yang menciptakan masyarakat (NU) abnormal.  Saya kuatir keabnormalan nanti dimaknai oleh NU khsususnya di Sumbar sebagai bentuk kenormalan baru dalam mengembangkan organisasi menjadi organisasi yang bisa bertahan dalam zaman disrupsi ini. Kalau alur logikanya seperti ini, NU akan mengalami krisis indentitas yang autentik.

Tegasnya Hibrida di sini dimaknai (sebagai) sebuah kebudayaan tertutup, yang di dalamnya elemen-elemen yang sebetulnya mengandung bentrokan identitas yang berbeda dan bersifat diametris, secara pasti meleburkan kontras mereka dalam upaya (re)produksi sebuah identitas yang lebih tinggi, yang bersifat eksternal terhadap mereka. Karakter hibrida ini, secara sederhana,  dapat diindera seperti ketika di mimbar mereka bicara tentang sejarah kebesaran NU dengan fokus pada jamaah, namun setelah itu mereka menghabiskan waktu membicarakan proyek-proyek basah pemerintah atau politik instan di sekeling mereka.

Setiap hari mereka bicara tentang kekhusu’annya mengabdi pada NU, namun di kesempatan lain dia mengunjingkan rasionalitas tradisi ibadah “kuburan” orang NU. Suatu saat mereka berbantah-bantahan persoalan globalisasi yang mengacam produk lokal, namun malam hari mereka menikmati dengan khusuk produk kapitalis. Di madrasan mereka bicara penguatan ideologi keumatan, namun di tempat lain mereka menikmati hasil penguasan ideologi pasar. Atau di dalam sebuah forum mereka teriak pelemahan KPK, namun di sisi lain mereka menikmati mark upkecil-kecilan di tempat mereka bekerja.

Itulah manusia hibrida dengan moralitas abjeksi (mengambang). NU Sumbar sepertinya sedang mengalami pergesaran bentuk, praktik, dan orientasi dari kultur aslinya. Para pendatang baru sepertinya mampu menghegemoni praksis kultural NU. Pergeseran itu mengarah kepada penghilangan kultur yang diagung-agungkan NU selama ini. Dunia NU kontemporer, sekali lagi, dibentuk oleh pelbagai bentuk pelintasan, persilangan, persinggungan, bahkan percampuran dari beberapa dunia di dalam dunia yang sama, yang membentuk kategori-kategori dunia baru yang tidak terbayangkan atau terfikirkan sebelumnya.

Khatimah

Saya dalam tulisan ini hanya ibarat orang yang melihat di tepi pematang ketika petani sedang membajak sawah kemudian mengomentari atau menilai bagaimana cara petani membajak tersebut itu tanpa merasakan dinginnya air sawah. Namun apa yang saya tulis ini juga refleksi dari apa yang saya nikmati selama ini dari karya-karya ulama dan intelektual kalangan NU atau karya anak-anak muda NU yang kadang “provokatif” dan “subversif”.

Bangsa ini menaruh mimpin dan harapan terhadap organisasi sebesar NU ini untuk menjadikan Islam menjadi kekuatan progresif, populis, membebaskan, pembela dan damai, ditengah gencarnya kekuatan ideologi lain yang merongrong dasar bangsa. NU dengan jamaahnya yang luar biasa bisa menjadi benteng sekaligus banteng bagi gerakan radikal, teroris, intoleran yang sedang menjamur. Jadi! apa yang menjadi keautentikan NU tersebut jangan sampai dirusak oleh pola dan prilaku pragmatisme yang rapuh, fragile dan ringkih. Munculnya kelompok-kelompok NU Garis Lurus dan NU Kultural atau NU Garis Lucu adalah reaksi terhadap prilaku bengkok Pengurus NU, paling tidak itu yang disampaikan oleh KH Idrul Ramli, Singa Aswaja dari Jember itu.

Wallahu a’lam bishawab, Wallahumuawafiq illa shirati al mustaqim.


Muhammad Taufik Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Nahdatul Ulama

Sumber:

Para “Mualaf” dan Krisis “Ontologi” Nahdatul Ulama Sumbar?

Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

. See – https://ibtimes.id/hijrah-intelektual-buya-syafii-puritanisme-ke-progresif/

Ada yang menarik, sesaat setelah saya membaca buku biografi Buya Ahmad Syafii Maarif Titik-Titik Kisar di Perjalananku (Ombak : 2006), yaitu pengakuan Hijrah Intelektual yang mencerahkan. Buya sempat terjebak pada paham keislaman yang kurang mencerahkan, hingga mampu menuju kelahiran kembali menemukan paham keislaman yang mencerahkan. Lalu bagaimana kisah hijrah intelektual Buya Syafii?

Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

Hijrah Intelektual Buya Syafii

Saya pikir perlu merekamkan ulang kepada pembaca sekalian, bagaimana perjalanan pemikiran Buya Syafii Maarif hingga di usianya yang ke 43 belum mampu melahirkan pemikiran keislaman yang mencerahkan Itu. Sejatinya kemampuan bahasa Inggris Buya yang sudah mumpuni, dan pemahaman nahwu sharaf yang masih melekat kuat, tidak berbanding lurus dengan perkembangan pemahaman keislamannya.

Demikian tulis Buya, “Sampai aku meninggalkan Athens tahun 1978, rasanya tidak ada yang dapat kutawarkan untuk menembus kebuntuan Intelektualisme Islam. Pada usia 43 tahun, wawasan keislamanku tidak pernah melampaui Ikhwan, Maududi dan Masyumi.” (hlm. 215)

Negara Islam, begitulah paham dan cita-cita yang digandrungi Ahmad Syafii Maarif Muda. Sosok yang mengidolakan partai Masyumi, partai umat Islam yang besar saat itu. Namun, semua itu luruh setelah menyimak ceramah-ceramah Fazlur Rahman.

Sejak kuliah di Athens (1976-1978) buya tidak mendapatkan pengalaman yang berarti yang menggugah pemikiran dan pemahaman keislamannya. Semua pemahaman itu beliau anggap suatu yang statis, tidak bergerak menuju pemahaman yang begitu berarti. “Paham keislamanku belum banyak beranjak sampai aku pada suatu hari aku belajar di Chicago.” (2016 : 194)

Bahkan sejak sudah di Chicago, dengan penuh percaya diri, cita-cita negara Islam masih melekat sebagai suatu yang harus terwujud. Dengan nada penuh heroik, Buya bertanya kepada Fazlur Rahman “Professor Rahman, please just give me one fourth of your knowledge of Islam, I’ll convert Indonesia into an Islamic State” (2016 : 195). (Profesor Rahman, berilah aku seperempat pengetahuanmu tentang Islam, lalu aku akan mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.”)

Permintaan ‘konyol’ ini, menandakan bahwa Buya masih dipengaruhi paham pemikiran lama. Sebagaimana Buya menerangkan dalam biografinya itu “Otakku ‘berdansa’ di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan” (ibid).

Buya berfikir, Rahman akan mendukung cita-citanya itu. Namun, setelah banyak berinteraksi dengan Rahman, tak disangka itulah yang menimbulkan kelahiran kedua pemikiran tentang keislamannya. Paham yang menurut Buya sebagai paham yang mencerahkan.Baca Juga  Swaajar, Alternatif Pembelajaran Jarak Jauh Era Covid-19

Pemikiran negara Islam itu diilhami sampai waktu perjalanan kuliah di Athens. Tokoh-tokoh itu banyak yang dirujuk dari dunia Timur. Seperti misalnya Maududi dan tokoh-tokoh Ikhwan. Demikian tulis Buya, “Aku masih terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam.” (hlm. 209)

Inilah periode Athens yang tidak memberikan stimulasi pada pemahaman keislaman Buya, terutama terkait bentuk negara dan politik. Hal ini di karenakan pergaulan Buya bersama teman-teman yang semua menghendaki hadirnya negara Islam. Organisasi yang diikutinya misaalnya, Buya menulis demikian“Aku aktif dalam MSA (Muslim Students’ Association), yang masih sangat merindukan tegaknya negara Islam di suatu negeri.” (hlm. 209)

Namun demikian, Buya tetap bersyukur. Pergaulannya selama di Athens itu membuahkan keteguhan sikap dan keluhuran moral. Sebagaimana diketahui, dunia Barat yang serba bebas itu, menuntut moral yang kuat. Maka tugas menuntut ilmu haruslah hal yang utama, menjaga moral harus terjaga. Demikian tutur Buya “Ilmu Barat dipelajari, tetapi nilai-nilai budayanya yang serba bebas sejauh mungkin dihindari” (hlm. 210).

Kritik Paham Fundamentalis

Periode Chicago mengilhami pemikiran keislaman buya yang baru dan mencerahkan. Inilah pijakan dimana kemudian Buya mampu merefleksikan secara dalam atas pemahaman yang lalu.  Bahkan secara kritis melakukan kritik terhadap tokoh-tokoh yang turut mempengaruhi pemikirannya di masa lalu hingga periode Athens.

Hossein Nasr, tokoh syi’ah moderat dari Islam mendapatkan kritik dari Buya Syafii. Nasr memilih hijrah ke Amerika Serikat untuk mebidangi kajian pemikiran Islam di Universitas Washington. Namun demikian, sebagai catatan yang diberi Buya, teori-teorinya dinilai belum berangkat dari pandangan Qur’an. Demikian tulis Buya “Maka tidak mengherankan Nasr sampai usia tuanya adalah  guru besar pada Universitas Washington untuk kajian-kajian keislaman, tatapi tak satu pun mencoba berangkat dari pandangan dunia al-Qur’an” (hlm. 211).

Kritik tajam juga dialamatkan kepada tokoh Muhammmad bin Abdul Wahab, yang kemudian melahirkan pengikut dan gerakan dikenal dengan Wahabi. Menurut penelusuran buya, gerakan ini diilhami dari Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah. Ada yang dilupakan oleh Wahabi, bahwa Ibn Taimiyah selain sebagai aktivis, dia juga kaum intelektual ulung, kelas wahid.

Inilah bentuk kesalahan fatal dari gerakan wahabisme. Inilah yaang dipotret oleh Buya terhadap dunia Arab, sedikit sekali pemikir dari dunia Arab yang mau diajak berpikir radikal, lebih terlena dan malas berpikir mendalam. Demikian tegas Buya, “Gerakan Wahabi lebih banyak mengambil sisi aktivisme dari Ibn Taimiyah, sementara dimensi intelektual dilupakan” (hlm. 212).Baca Juga  Ahmad Syafii Maarif dan Sejarah yang Emansipatoris

Kesalahan utama dari para pendukung pemikir-pemikir diatas berangkat dari kebencian dan penolakan atas realitas dunia Barat. Bahkan, para pendukungan pemikiran Maududi dan Sayid Qutb tidak betah tinggal di negerinya yang penuh dengan praktik penguasa korup, otoritarian, dan ulama yang konservatif. Di sisi yang sama mereka benci atas pratik pergaulan Barat seperti pergaulan seks dan pro-zionisme.

Sudah seharusnya membangun peradaban tidak berangkat dari kebencian, namun dari objektifikasi. “Teori-teori keislaman yang bertolak dari sikap anti asing (baca Barat) ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik.” (hlm. 213). Maka perlu untuk mengedepankan sikap lapang dada, bukan ekstrem anti sesuatu, sebab menurut Buya kearifan bukan soal Barat dan Timur. 

Terakhir yang perlu direkam disini adalah proyek ISTAC (International Institute of Islam Thought and Civilization) yang digawangi Naquib al-Attas, pemikir kelahiran Bogor yang Hijrah ke Malaysia. Sepanjang berinteraksi dengan al-Attas, menurut Buya ada sikap anti Egalitarianisme, tentu dengan menghormati dan mendukung niat positif mengenai pengembangan pemikiran Islam.

Sialnya, gejolak politik di negeri Jiran itu, membuat ISTAC tidak mampu bergerak maksimal. Al-Attas yang dinilai dekat dengan Anwar Ibrahim, dan dia merupakan lawan politik Mahatir Mohammad. ISTAC akhirnya dilebur ke dalam Universitas Islam Internasional Malaysia, tentu ini pukulan dan mengubur cita-cita luhur ISTAC.

Demikian tulis Buya, “ISTAC kehilangan kemandiriannya, ruhnya menjadi sirna. Yang positif dari al-Attas adalah ISTAC mau dijadikannya pusat kajian ilmiah bagi pemikiran Islam yang sangat beragam” (2006).

Berguru Pada Rahman

Kuliah-Kuliah dengan Prof. Fazlur Rahmanmengilhami kelahiran pemikiran kesilaman Buya Syafii jilid kedua. Pemahaman akan Islam, sekarang tidak dimaknai sebatas simbol, tapi jauh dari itu, merupakan sumber moral utama dan pertama bagi kehidupan ini.

Buya menulis “Aku merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam bagiku adalah sumber moral utama dan pertama. Al-qur’an adalah Kitab Suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik.” (hlm. 224)

Rusaknya dunia politik saat ini, atau keringnya politisi negarawan, jika kita lihat–meminjam teori Buya di atas, maka diakibatkan dari tidak merujuk pada pesan dan moral utama al-Qur’an. Sehingga tidak sedikit politisi hanya menjadikan jabatan sebagai pekerjaan (sumber rezeki) bukan pengabdian yang luhur untuk bangsa dan negara.Baca Juga  Vedi R. Hadiz: Muhammadiyah Embrio Civil Society di Indonesia

Inilah bentuk pengakuan Buya, bahwa berguru kepada Rahman telah merubah sikapnya secara mendasar tentang pemahaman keislaman. “Pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar.” (ibid)

Menurut keterangan Buya, kuliah Rahman jauh dari keramaian. Mungkin Rahman menerapkan prinsip, kualitas jauh lebih megah dari pada kuantitas. Seperti pentingnya melahirkan seorang tokoh yang menjadi rujukan di suatu negara, dan itu menjadi sangat berarti.

Ada dua hal yang saya catat dalam tulisan ini mengenai posisi Rahman berdasarkan pengakuan Buya. Pertama, Rahman adalah pemikir dengan pengetahuan yang luas, meliputi masa klasik dan modern.

Demikian tulis Buya, “Rahman dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah seorang pemikir muslim yang sangat akrab dengan kajian Islam klasik dan modern plus pengetahuannya yang luas tetapi sangat kritikal terhadap dunia modern.” (hlm. 224)

Kedua, kuliah Rahman jauh dari doktrinasi. Kuliah Rahman jauh dari cara-cara mendakwahi, yang mengubur pemikiran kritis mahasiswanya. Namun yang dilakukan Rahman penuh dengan objektifikasi, kritikal yang membangkitkan nalar mahasiswanya.

Buya menulis demikian “Otakku mau tidak mau telah mengalami pencucian: aktivisme tanpa kontemplasi yang dalam akan bermuara dengan kesia-siaan, ibarat sumur tanpa dasar. Argumen-argumen Rahman tentang Islam jauh dari mendakwahi.” (hlm. 225). Selanjutnya Buya menegaskan  “Semua kuliah yang disampaikan Rahman dengan jelas, tegas, mendalam, objektif, kritikal dan komprehensif. Terserah kepada mahasiswa untuk menilainya. Mereka diberi kebebasan penuh untuk mendebat.” (hlm. 226-227)

Demikian tulisan ini. Dengan maksud agar pengalaman Buya ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda agar tidak menyesal dalam keterlambatan memahami Islam yang mencerahkan. Sebagaimana bentuk penyesalan Buya, di usia kepala empat baru memahami paham keislaman yang mencerahkan.

Generasi muda harus banyak membaca dan bergaul. Generasi muda yang bercita-cita menjadi pemikir ulung agar mampu menguasai bahasa Qur’an dan bahasa Inggris. Dalam kehidupan ini, prinsip utama yang harus menjadi pegangan adalah meletakkan Al-Quran sebagai sumber moral utama dan pertama. Buya telah mengikuti filsafat garam (tegaknya nilai-nilai Islam seperti keadilan dan musyawarah), bukan filsafat gincu (negara Islam).

Editor: Nabhan

Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

RSI IBNU SINA'sWeblog

Just another WordPress.com weblog

AmyRodzman's Wacky Adventure

Food is life, Food is love

Khazanah

#khazanah

Zuriyat-Bani H. Abdul Karim-Hj. Rahana Ibrahim

Loving family more than everything

#SaveInsan Save Insan | #InsanCare Insan Care

#SaveInsan #SaveWorld Palestin Syria Yaman Rohingya Ugiur Iraq Afganistan Libya Mesir Afrika Malaysia Sudan Somalia and .....

Rumah Media Grup

Cerdas Membangun Bangsa

Catatan Seorang Perempuan

Berfikir untuk belajar, belajar untuk menulis, menulis untuk mengubah...

HILMAN LATIEF

To Share, To Change

Muhammadiyah Sumbar

Adat Basandi Syrak, Syarak Basandi Kitabullah

IKAPIN IX 1976 RESIMEN MAHASISWA INDONESIA

“Widya Çastrena Dharma Siddha”

oetoesan melajoe

soeloeh negeri, pelita alam

Discover WordPress

A daily selection of the best content published on WordPress, collected for you by humans who love to read.

Jurusan Aqidah Filsafat

IAIN Imam Bonjol Padang

Berfikir, Berbicara, Bertulis dan Berikhtiar

Home of my Thought, Talks, Writing and Effort

RONIN INDONESIA

Pencerahan Untuk Bangsa

Rifkisumbar's Weblog

Just another WordPress.com weblog

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai